Thursday, November 20, 2014

Poligami


A.   Sejarah Poligami
Persoalan poligami bukan hanya eksis pada masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia.
         Waster Mark, pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri. Marthin Luther pun sering berbicara tentang poligami dan tak seorangpun mengingkarinya.
Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam undang-undang Jerman. Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam Perjanjian Lama.
Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi poligami.
B.   Definisi Poligami Secara Umum
Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral sesorang yang melakukan poligami.
Proses persepsi terdiri atas tiga tahap, tahapan pertama terjadi stimulasi pada penginderaan. Tahapan kedua yaitu stimulasi pada pengindearaan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, misalnya keterdekatan dan kesamaan. Tahapan ketiga yaitu stimulasi pada penginderaan diinterprestasi dan di evaluasi. Interprestasi dan evaluasi merupakan suatu proses yang tidak dapat dapat dipisahkan. Tahap ketiga merupakan tahap subyektifitas. Hal ini dikarenakan interprestasi dan evaluasi di pengaruhi oleh pengalaman kebutuhan, nilai kepercayaan tentang bagaimana seharusnya berperilaku, harapan, keadaan dan emosi.. Persepsi juga di pengaruhi oleh pengalaman belajar di masa lalu, harapan dan preferensi.
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini, menjadi sah untuk mengatakan, bahwa anti poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun, dalam Islam, poligami mempunyai anti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.
Poligami merupakan salah satu objek dalam lingkup sosial. Seseorang akan membeda-bedakan dalam memberikan persepsinya terhadap poligami. Pandangan yang berbeda dalam menghadapi masalah poligami memberikan persepsi yang berbeda terhadap poligami antara seseorang dengan orang lain, persepsi seseorang terhadap poligami sangat tergantung pada pemahamannya tentang poligami.
Poligami secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu: `poli' yang berarti banyak dan 'gami' berarti perkawinan. Sehingga poligami berarti perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih (Algra dalam Kuzari, 1995). Sedangkan menurut Kuzari (1995) mula-mulanya poligami dikenal sebagai perkawinan lebih dari satu. Poligami dapat membedakan atas dua definisi yaitu, poligami yang artinya seseorang laki-laki menikah dengan banyak wanita dan poliandri yang artinya seorang wanita menikah dengan banyak laki-laki. Kemudian perkembangan pengertian itu mengaaami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedang poliandri tidak lazim dipakai.
Aj-Jahrani (1996) mengatakan bahwa poligami telah dikenal masyarakat sebelum islam dalam hal ini seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang istri. Soemiyati (1974) mendefenisikan poligami sebagai perkawinan antar seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita, dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan sebutan poligami (Sabili, 2000). Berdasarkan pengertian persepsi dan poligami dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi terhadap poligami merupakan sikap mendukung dan menolak dilakukannya dengan pernikahan istri lebih dari satu. Persepsi terhadap poligami dapat diartikan pula sebagai derajat efek positif dan negatif terhadap dilakukannya perkawinan dengan istri lebih dari satu.
Menurut Aj-Jahrani (1996) Islam rnembolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntutan kehidupan. Poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagian seorang mukmin didunia dan diakherat. Islam tidak menciptakan aturan poligami dan tidak mewajibkan umatnya untuk melaksanakan poligami. Islam datang untuk mengatur poligami yang telah jauh sebelum Islam datang. Poligami dilakukan sebelum Islam oleh agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani, juga oleh kepercayaan seperti Paganisme dan Majusiah. Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta mambatasi keburukan yang terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Tujuan semua itu adalah untuk memelihara hak-hak wanita, memelihara kemuliaan mereka yang dahulu terabaikan karena poligami yang tanpa ikatan, persyaratan, dan jumlah tertentu.
C.   Poligami Dalam Islam
Poligami merupakan salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis Islam. Poligami adalah syariat Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW, tentunya dengan syarat seorang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS An-Nisaa’: 3)
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya dalam hal ini adil adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya. Jika tidak mampu berlaku adil, maka sebagaimana ayat lainnya :
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.." (An-Nisaa': 129)
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa': 3)
Sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang bermoral dan manusiawi. Manusiawi, karena Islam tidak memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai di luar pernikahan. Dan sesungguhnya tidak boleh baginya untuk berhubungan dengan lebih dari tiga wanita selain isterinya. Tidak boleh baginya berhubungan dengan satu dari tiga tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui aqad dan engumumkannya, meskipun dalam jumlah yang terbatas.
Bahkan harus diketahui juga oleh para wali perempuan tentang hubungan yang syar'i ini, dan mereka menyetujui atau mereka tidak menentangnya. Harus juga dicatat menurut catatan resmi di kantor yang tersedia untuk aqad nikah, kemudian disunnahkan mengadakan walimah bagi laki-laki dengan mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik sebagai ungkapan gembira.
Perlu diketahui bahwa tidak disyaratkan bagi seorang laki laki untuk meminta ijin kepada istrinya bila akan menikah lagi. Hanya saja untuk menghindari permasalahan di kemudian hari, seorang suami baiknya memberitahukan (bukan meminta ijin) agar ada kesiapan mental bagi si istri pertama. Termasuk mempersiapkan mental istri adalah seorang suami mendidik istrinya dengan pendidikan agama yang baik. Dan ini memerlukan waktu yang lama.
Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.
Seorang suami yang hendak melakukan poligami hendaknya melihat kemampuan pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan ketika melakukan poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah hadits disebutkan (yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain, maka pada hari Kiamat akan datang dalam keadaan salah satu pundaknya lumpuh miring sebelah.” (HR. Lima)
Semoga apa yang teringkas ini dapat menjadi pemahaman kita semua mengenai Poligami, sekali lagi bahwa Poligami bukanlah hal yang mudah karena akan dihadapkan pada pertanggungan jawab yang besar di hari akhirat kelak.

D.   Faktor Penyebab Poligami
Beberapa alasan seorang suami mempertimbangkan langkah Poligami ;
  1. Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezki isteri yang tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.
  2. Ada juga di antara kaum lelaki yang kuat keinginannya dan kuat syahwatnya, akan tetapi ia dikaruniai isteri yang dingin keinginannya terhadap laki-laki karena sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya. Sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita. Apakah tidak sebaiknya diperbolehkan untuk menikah dengan wanita yang halal daripada harus berkencan dengan sahabatnya atau daripada harus mencerai yang pertama.
  3. Selain itu jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada jumlah pria, terutama setelah terjadi peperangan yang memakan banyak korban dari kaum laki-laki dan para pemuda. Maka di sinilah letak kemaslahatan sosial dan kemaslahatan bagi kaum wanita itu sendiri. Yaitu untuk menjadi bersaudara dalam naungan sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan hidup berumah tangga, merasakan ketentraman, cinta kasih dan pemeliharaan, serta nikmatnya menjadi seorang ibu. Karena panggilan fitrah di tengah-tengah kehidupan berumah tangga selalu mengajak ke arah itu.
Sebab dan akibat memang merupakan hukum paten didunia ini. Bahkan berlaku juga dalam kehidupan akhirat kelak, misalnya orang yang disiksa dalam jurang neraka, disebabkan karena dia berbuat dosa dan sebab akibat yang lain, yang menyelimuti misteri kehidupan seseorang. Demikian juga dengan suami-suami yang menyatakan niatnya untuk berpoligami.
Beberapa faktor yang menyebabkan suami untuk melakukan poligami yaitu :
     1.    Poligami sebagai sarana memperoleh keturunan.
Sebuah perkawinan tanpa lahirnya keturunan dari rahim istri, merupakan perkawinan hambar. Anak yang sering diistilahkan dengan ‘buah hati” memang menjadi sebuah kebahagiaan utama dalam rumah tangga. Ternyata istilah buah hati sudah sejak lama, bahkan Nabilah yang lebih dahulu memakai istilah itu :
 “Anak adalah buah hati”
Memperoleh keturunan memang tujuan utama sebuah perkawinan. Maka betapa merananya seorang yang dalam perkawinan.
      2.    Poligami sebagai sarana dakwah
Mungkin agak anek saja terdengar ditelinga oleh orang awam, jika poligami dilakukan seorang suami dengan alasana sebagai sarana dakwah.
Dalam menegakkan syariat islam bisa menggunakan cara yang bermacam-macan. Dengan lisan dengan gerakan bersenjata ataupun dengan tindakan yang halus, akan tetapi harus lebih mengenai sasaran dakwah. Berpoligami untuk syi’ar islam atau dakwah ini biasanya dilakukan oleh para da’i, karena ini berkepentingan dengan tugas dakwahnya. Mereka menikahi mu’allaf atau bahkan wanita-wanita kafir mautun musryik setelah sebelumnya mereka memeluk agama islam. Untuk menjaga akidahnya yang masih rapuh, dan agar jangan kembali lagi kepada kekafiran.
      3.    Poligami sebagai sarana mengangkat kemiskinan.
Melindungi fakir miskin terutama yang telah ditinggal suami, sebab sebuah kefakir miskinan sangat dekat dengan kekufuran, sebagai sabda Rasulullah SAW :
“Kekafiran nyaris mengakibatkan kekufuran” (HR. Abu Nu’aim).
Beberapa renungan yang didihadapkan kepada para wanita untuk turut juga memikirkan kaum sesamanya yang realistisnya jumlah wanita lebih banyak dari pria apabila tidak adanya ayat Al-quran dan sunnah Rasulallah yang menggambarkan diperbolehkannya poligami ;
1.    Menghabiskan usianya dalam kepahitan karena tidak pernah merasakan kehidupan berkeluarga dan menjadi ibu.
2.    Menjadi bebas (melacur, untuk menjadi umpan dan permainan kaum laki-laki yang rusak. Muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya anak-anak haram, anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara materi dan moral, sehingga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
3.    inikahi secara baik-baik oleh lelaki yang mampu untuk memberikan nafkah dan mampu memelihara dirinya, sebagai istri kedua, ketiga atau keempat.
Tidak diragukan bahwa cara yang ketiga inilah yang adil dan paling baik serta merupakan obat yang mujarab. Inilah hukum Islam. Allah berfirman:
"Dan hukum siapakah yang lehih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al Maidah: 5O)

E.   Syarat-syarat Poligami
Syarat yang penting untuk melakukan poligami yaitu :
1.    Berlaku Adil Terhadap Istri-istri
Di dalam Al-Quran terdapat ayat yang mengatur mengenai bersikap adil dalam berpoligami, yaitu pada An-Nisaa’ ayat 3 dan ayat 129, yang artinya :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."(An-Nisaa’: 3)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamun terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayan.” (An-Nisaa’: 129)
Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah berkata: "Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa tidak wajib menyamakan di dalam jima' di antara para isteri. Karena jima' adalah jalan bagi syahwat dan kecondongan, tidak ada jalan untuk menyamakan mereka di dalam hal itu, karena hati seorang suami terkadang condong kepada salah satu isteri tanpa yang lainnya".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Alhamdulillah, wajib atas suami berlaku adil di antara dua isteri dengan kesepakatan muslimin. Dan di dalam Sunan Empat, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah satu dari keduanya (yakni tidak adil, Pen.), (maka) dia akan datang pada hari Kiamat, sedangkan lambungnya miring"
Dengan demikian, seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembagian. Jika dia bermalam pada satu isterinya semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia juga bermalam pada isteri yang lain seukuran itu. Dia tidak boleh melebihkan salah satu dari keduanya dalam pembagian. Namun, jika dia lebih mencintai salah satunya, dan lebih banyak berjima' dengannya, maka tidak ada dosa baginya, dan tentang inilah turun firman Allah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" (An-Nisaa`:129) - yaitu dalam hal kecintaan dan jima'.
Dalam Sunan Empat, dari 'Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membagi dan berbuat adil, lalu beliau berdoa:
"Wahai Allah, ini pembagianku dalam perkara yang aku mampu, maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau mampu, sedangkan aku tidak mampu". Abu Dawud mengatakan: "Yang beliau maksud adalah hati".
Adapun adil dalam hal pemberian nafkah dan pakaian, maka yang demikian itu merupakan Sunnah (ajaran Nabi), dan kita diharuskan meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga Rasulullah, beliau juga berlaku adil di antara isteri-isteri beliau dalam hal nafkah, sebagaimana berlaku adil di dalam pembagiannya.
Syamsul Haq al 'Azhim rahimahullah berkata: "Hadits ini sebagai dalil wajibnya suami untuk menyamakan pembagian di antara isteri-isterinya, dan haram atasnya jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Ta'ala berfirman:
"Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”.([An-Nisaa`:129), yang dimaksudkan adalah cenderung dalam pembagian dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak dikuasai oleh hamba".
Dalam terjemahan al Qur`an yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan pada catatan kaki sebagai berikut: [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja".
Adil dalam pembagian giliran dan nafkah ini termasuk yang dimaksudkan oleh firman Allah:
"Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (An-Nisaa`:19)
2.    Kemampuan Melakukan Poligami
Islam adalah agama yang mudah. Dalam Islam, seseorang tidak diperbolehkan memberatkan dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal poligami. Sehingga, seorang laki-laki yang berpoligami, disyaratkan harus memiliki kemampuan agar tidak menyusahkan orang lain. Kemampuan yang dimaksudkan, meliputi pemberian nafkah dan menjaga kehormatan isteri-isterinya.
a.    Kemampuan Memberi Nafkah.
Ketika seorang laki-laki menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya. Di antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang melakukan poligami, maka kewajibannya tersebut bertambah dengan sebab bertambah isterinya.
Secara bahasa, yang dimaksud nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." [Al Baqarah/2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat “dan kewajiban ayah (si anak) memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu sesuai dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu itu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya, kaya, sedang, dan miskin.
b.    Kemampuan Menjaga Kehormatan Istri-istrinya.
Selain kebutuhan nafkah, wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang laki-laki yang berpoligami, ia harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai jama'ah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat" [HR Bukhari, no. 5065, Muslim, no. 1400]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pembicaraan kepada para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka terdapat kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda dengan orang tua, walaupun maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang tua, maka juga berlaku pada mereka"
Di kalangan para ulama, mereka memiliki dua pendapat tentang makna al ba'ah (menikah). Pertama, jima. Kedua, biaya nikah. Namun sesungguhnya kedua makna tersebut dapat digunakan pada hadits ini.
c.    Syarat Poligami menurut Undang-undang Perkawinan
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
·         adanya persetujuan dari istri;
·         adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
·         adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).
Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.
F.    Dampak Poligami
Dampak positif berpoligami:
·         Terhindar dari maksiat dan zina,
·         Meperbanyak keturunan,
·         Melindungi para janda, perawan tua dan kelebihan perempuan,
·         Kebutuhan sex suami terselesaikan saat istrinya melahirkan, haid, sakit, uzur, dll,
·         Istri terpacu untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena ada yang lain,
·         Melatih kesabaran dan menekan egoisme,
·         Anak yang dilahirkan menpunyai legal formal, dan
·         Status yang jelas bagi perempuan.
Dampak negatif berpoligami:
·         Mendapat tekanan social (masyarakat menganggap buruk pelakunya),
·         Mendapat tekanan legal ( bagi peg, negeri: poligami dilarang),
·         Mendapat tekanan ekonomis ( diperlukan biaya besar untuk memadu), dan
·         Kadang bias mendapat tekanan politis.
Hal di atas menunjukkan beberapa dampak negatif dan positif yang akan ditimbulkan dari poligami. Hal inilah yang dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan poligami. Sebaiknya sebelum melakukan poligami, seharusnya memperhitungkan dan membandingkan antara dampak negatif dan dampak positif yang mungkin terjadi.
1.    Dampak negatif terhadap istri
Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing.
Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004) menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri, dan bahkan menjadi gila.
Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :
a.    Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
b.    Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c.    Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
d.    Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
e.    Kekerasan terhadap perempuan,
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :
a.    Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.
b.    Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
c.    Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.
2.    Dampak negatif yang akan timbul terhadap anak
Dampak negatif yang akan ditimbulkan poligami terhadap anak yaitu :
a.    Anak Merasa Kurang Disayang.
Salah satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan bathinnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan control dari ayah kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemorosotan moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang ter pengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.
b.    Tertanamnya Kebencian Pada Diri Anak.
Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya mulai kehilangan kecintaan kepada ayahnya yang berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan dalam islam tapi mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan hati dan memberikan beban pada baatin si anak . Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.
Kekecewaan seorang anak karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah, akan menyebabkan anak tidak simpati, dan tidak menghormati ayah kandungnya sehingga harus diakui bahwa poligami mempunyai efek yang dapat merubah seseorang dari sikap baik sampai kepada bersikap yang tidak baik.
c.    Tumbuhnya Ketidakpercayaan Pada Diri anak.
Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada.sehingga ada rasa tidakpercaya terhadap ayah maupun suami
d.    Timbulnya Traumatik Bagi Anak. Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan, walaupun tidak sampai cerai. Tapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan pria.dan berfikiran serta merasa jika kelak nikah nanti akankah memiliki suami atau istri yang tidak puas dengan satu pasangan dan ingin melakukan praktik pernikahan poligami.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ismail, “Syarat dan Adab Poligami”. http://almanhaj.or.id/content/2552/slash/0 (diakses pada 1 Mei 2012)

Abu Zahra, “Poligami Islam”. http://www.dunia-maharani.blogspot.com/2006/12/poligami-merupakan-salah-satu-isu-yang.html . (diakses pada 1 Mei 2012)

Ariyani, Mira. (2004). “Faktor yang Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami”. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992).

Dedi Kusmayadi, “Memilih Poligami Mempertimbangkan Anak, “ Fajar, 22 Maret 2002.

“Hukum Poligami”. http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/hukum-poligami.html (diakses pada 2 Mei 2012)
Jihad Annisa, “Poligami Menurut Pandangan Islam”. http://blognyafitri.wordpress.com/2011/11/21/poligami-menurut-pandanghan-islam-oleh-jihad-annisa/ (diakses pada 1 Mei 2012)

No comments:

Post a Comment

Review Undang Undang Cipta Kerja Omnibus Law #Hubungan Kerja

 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Sebelumnya kita sudah membahas terkait Undang-undang cipta kerja terkait tenaga kerja asing. Sa...