A. Sejarah Poligami
Persoalan poligami bukan hanya eksis pada masa Islam, ia
telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan oleh
bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Mesir
dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia.
Waster Mark, pakar sejarah perkawinan pernah menulis:
“Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa
raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri. Marthin Luther pun sering berbicara
tentang poligami dan tak seorangpun mengingkarinya.
Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan
kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam
undang-undang Jerman. Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di
antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi
poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam
Perjanjian Lama.
Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad
SAW pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai
isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat
isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi
poligami.
B.
Definisi Poligami Secara Umum
Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih
dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang
laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita
dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat
mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik
buruknya moral sesorang yang melakukan poligami.
Proses persepsi terdiri atas tiga tahap, tahapan pertama
terjadi stimulasi pada penginderaan. Tahapan kedua yaitu stimulasi pada
pengindearaan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, misalnya
keterdekatan dan kesamaan. Tahapan ketiga yaitu stimulasi pada penginderaan
diinterprestasi dan di evaluasi. Interprestasi dan evaluasi merupakan suatu proses
yang tidak dapat dapat dipisahkan. Tahap ketiga merupakan tahap subyektifitas.
Hal ini dikarenakan interprestasi dan evaluasi di pengaruhi oleh pengalaman
kebutuhan, nilai kepercayaan tentang bagaimana seharusnya berperilaku, harapan,
keadaan dan emosi.. Persepsi juga di pengaruhi oleh pengalaman belajar di masa
lalu, harapan dan preferensi.
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan
penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos,
yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan
akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini,
menjadi sah untuk mengatakan, bahwa anti poligami adalah perkawinan banyak, dan
bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun, dalam Islam, poligami
mempunyai anti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat
tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari
sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh
bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.
Poligami merupakan salah satu objek dalam lingkup sosial.
Seseorang akan membeda-bedakan dalam memberikan persepsinya terhadap poligami.
Pandangan yang berbeda dalam menghadapi masalah poligami memberikan persepsi
yang berbeda terhadap poligami antara seseorang dengan orang lain, persepsi
seseorang terhadap poligami sangat tergantung pada pemahamannya tentang
poligami.
Poligami secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu:
`poli' yang berarti banyak dan 'gami' berarti perkawinan. Sehingga poligami
berarti perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih (Algra dalam Kuzari,
1995). Sedangkan menurut Kuzari (1995) mula-mulanya poligami dikenal sebagai
perkawinan lebih dari satu. Poligami dapat membedakan atas dua definisi yaitu,
poligami yang artinya seseorang laki-laki menikah dengan banyak wanita dan
poliandri yang artinya seorang wanita menikah dengan banyak laki-laki. Kemudian
perkembangan pengertian itu mengaaami pergeseran sehingga poligami dipakai
untuk makna laki-laki beristri banyak, sedang poliandri tidak lazim dipakai.
Aj-Jahrani (1996) mengatakan bahwa poligami telah dikenal
masyarakat sebelum islam dalam hal ini seorang laki-laki boleh menikahi lebih
dari seorang istri. Soemiyati (1974) mendefenisikan poligami sebagai perkawinan
antar seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita, dalam masyarakat
Indonesia dikenal dengan sebutan poligami (Sabili, 2000). Berdasarkan
pengertian persepsi dan poligami dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi
terhadap poligami merupakan sikap mendukung dan menolak dilakukannya dengan
pernikahan istri lebih dari satu. Persepsi terhadap poligami dapat diartikan
pula sebagai derajat efek positif dan negatif terhadap dilakukannya perkawinan
dengan istri lebih dari satu.
Menurut Aj-Jahrani (1996) Islam rnembolehkan poligami
untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntutan kehidupan. Poligami
untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagian seorang mukmin didunia dan
diakherat. Islam tidak menciptakan aturan poligami dan tidak mewajibkan umatnya
untuk melaksanakan poligami. Islam datang untuk mengatur poligami yang telah
jauh sebelum Islam datang. Poligami dilakukan sebelum Islam oleh agama-agama
samawi seperti Yahudi dan Nasrani, juga oleh kepercayaan seperti Paganisme dan
Majusiah. Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk
mengatur serta mambatasi keburukan yang terdapat dalam masyarakat yang
melakukan poligami. Tujuan semua itu adalah untuk memelihara hak-hak wanita,
memelihara kemuliaan mereka yang dahulu terabaikan karena poligami yang tanpa
ikatan, persyaratan, dan jumlah tertentu.
C.
Poligami Dalam Islam
Poligami merupakan salah satu isu yang disorot tajam
kalangan feminis, tak terkecuali feminis Islam. Poligami adalah syariat Islam
yang merupakan sunnah Rasulallah SAW, tentunya dengan syarat seorang suami
memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang
artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”(QS An-Nisaa’: 3)
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya,
yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya dalam hal ini
adil adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang
memungkinkan untuk disamakan di dalamnya. Jika tidak mampu berlaku adil, maka
sebagaimana ayat lainnya :
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung.." (An-Nisaa': 129)
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa': 3)
Sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam
adalah sistem yang bermoral dan manusiawi. Manusiawi, karena Islam tidak
memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai di
luar pernikahan. Dan sesungguhnya tidak boleh baginya untuk berhubungan dengan
lebih dari tiga wanita selain isterinya. Tidak boleh baginya berhubungan dengan
satu dari tiga tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui aqad dan engumumkannya,
meskipun dalam jumlah yang terbatas.
Bahkan harus diketahui juga oleh para wali perempuan
tentang hubungan yang syar'i ini, dan mereka menyetujui atau mereka tidak
menentangnya. Harus juga dicatat menurut catatan resmi di kantor yang tersedia
untuk aqad nikah, kemudian disunnahkan mengadakan walimah bagi laki-laki dengan
mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik sebagai ungkapan
gembira.
Perlu diketahui bahwa tidak disyaratkan bagi seorang laki
laki untuk meminta ijin kepada istrinya bila akan menikah lagi. Hanya saja
untuk menghindari permasalahan di kemudian hari, seorang suami baiknya
memberitahukan (bukan meminta ijin) agar ada kesiapan mental bagi si istri
pertama. Termasuk mempersiapkan mental istri adalah seorang suami mendidik
istrinya dengan pendidikan agama yang baik. Dan ini memerlukan waktu yang lama.
Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat
meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami
dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.
Seorang suami yang hendak melakukan poligami hendaknya
melihat kemampuan pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan
ketika melakukan poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah
hadits disebutkan (yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia
lebih condong kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain, maka pada
hari Kiamat akan datang dalam keadaan salah satu pundaknya lumpuh miring
sebelah.” (HR. Lima)
Semoga apa yang teringkas ini dapat menjadi pemahaman
kita semua mengenai Poligami, sekali lagi bahwa Poligami bukanlah hal yang
mudah karena akan dihadapkan pada pertanggungan jawab yang besar di hari
akhirat kelak.
D.
Faktor Penyebab Poligami
Beberapa alasan seorang suami mempertimbangkan langkah
Poligami ;
- Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezki isteri yang tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.
- Ada juga di antara kaum lelaki yang kuat keinginannya dan kuat syahwatnya, akan tetapi ia dikaruniai isteri yang dingin keinginannya terhadap laki-laki karena sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya. Sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita. Apakah tidak sebaiknya diperbolehkan untuk menikah dengan wanita yang halal daripada harus berkencan dengan sahabatnya atau daripada harus mencerai yang pertama.
- Selain itu jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada jumlah pria, terutama setelah terjadi peperangan yang memakan banyak korban dari kaum laki-laki dan para pemuda. Maka di sinilah letak kemaslahatan sosial dan kemaslahatan bagi kaum wanita itu sendiri. Yaitu untuk menjadi bersaudara dalam naungan sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan hidup berumah tangga, merasakan ketentraman, cinta kasih dan pemeliharaan, serta nikmatnya menjadi seorang ibu. Karena panggilan fitrah di tengah-tengah kehidupan berumah tangga selalu mengajak ke arah itu.
Sebab dan akibat memang merupakan hukum paten didunia
ini. Bahkan berlaku juga dalam kehidupan akhirat kelak, misalnya orang yang
disiksa dalam jurang neraka, disebabkan karena dia berbuat dosa dan sebab
akibat yang lain, yang menyelimuti misteri kehidupan seseorang. Demikian juga
dengan suami-suami yang menyatakan niatnya untuk berpoligami.
Beberapa faktor yang menyebabkan suami untuk melakukan
poligami yaitu :
1. Poligami sebagai sarana memperoleh keturunan.
Sebuah perkawinan tanpa lahirnya keturunan dari rahim
istri, merupakan perkawinan hambar. Anak yang sering diistilahkan dengan ‘buah
hati” memang menjadi sebuah kebahagiaan utama dalam rumah tangga. Ternyata
istilah buah hati sudah sejak lama, bahkan Nabilah yang lebih dahulu memakai
istilah itu :
“Anak adalah buah
hati”
Memperoleh keturunan memang tujuan utama sebuah perkawinan.
Maka betapa merananya seorang yang dalam perkawinan.
2. Poligami sebagai sarana dakwah
Mungkin agak anek saja terdengar ditelinga oleh orang
awam, jika poligami dilakukan seorang suami dengan alasana sebagai sarana
dakwah.
Dalam menegakkan syariat islam bisa menggunakan cara yang
bermacam-macan. Dengan lisan dengan gerakan bersenjata ataupun dengan tindakan
yang halus, akan tetapi harus lebih mengenai sasaran dakwah. Berpoligami untuk
syi’ar islam atau dakwah ini biasanya dilakukan oleh para da’i, karena ini
berkepentingan dengan tugas dakwahnya. Mereka menikahi mu’allaf atau bahkan
wanita-wanita kafir mautun musryik setelah sebelumnya mereka memeluk agama
islam. Untuk menjaga akidahnya yang masih rapuh, dan agar jangan kembali lagi
kepada kekafiran.
3. Poligami sebagai sarana mengangkat kemiskinan.
Melindungi fakir miskin terutama yang telah ditinggal
suami, sebab sebuah kefakir miskinan sangat dekat dengan kekufuran, sebagai
sabda Rasulullah SAW :
“Kekafiran nyaris mengakibatkan kekufuran” (HR. Abu Nu’aim).
Beberapa renungan yang didihadapkan kepada para wanita
untuk turut juga memikirkan kaum sesamanya yang realistisnya jumlah wanita
lebih banyak dari pria apabila tidak adanya ayat Al-quran dan sunnah Rasulallah
yang menggambarkan diperbolehkannya poligami ;
1. Menghabiskan usianya dalam kepahitan karena tidak pernah
merasakan kehidupan berkeluarga dan menjadi ibu.
2. Menjadi bebas (melacur, untuk menjadi umpan dan permainan
kaum laki-laki yang rusak. Muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan
banyaknya anak-anak haram, anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara
materi dan moral, sehingga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
3. inikahi secara baik-baik oleh lelaki yang mampu untuk
memberikan nafkah dan mampu memelihara dirinya, sebagai istri kedua, ketiga
atau keempat.
Tidak diragukan bahwa cara yang ketiga inilah yang adil
dan paling baik serta merupakan obat yang mujarab. Inilah hukum Islam. Allah
berfirman:
"Dan hukum siapakah yang lehih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al Maidah: 5O)
E.
Syarat-syarat Poligami
Syarat yang penting untuk melakukan poligami yaitu :
1. Berlaku Adil Terhadap Istri-istri
Di dalam Al-Quran
terdapat ayat yang mengatur mengenai bersikap adil dalam berpoligami, yaitu
pada An-Nisaa’ ayat 3 dan ayat 129, yang artinya :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya."(An-Nisaa’: 3)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
(yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamun terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayan.” (An-Nisaa’: 129)
Ibnu Qudamah al Maqdisi
rahimahullah berkata: "Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara
ulama, bahwa tidak wajib menyamakan di dalam jima' di antara para isteri.
Karena jima' adalah jalan bagi syahwat dan kecondongan, tidak ada jalan untuk
menyamakan mereka di dalam hal itu, karena hati seorang suami terkadang condong
kepada salah satu isteri tanpa yang lainnya".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: "Alhamdulillah, wajib atas suami berlaku adil di
antara dua isteri dengan kesepakatan muslimin. Dan di dalam Sunan Empat, dari
Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah
satu dari keduanya (yakni tidak adil, Pen.), (maka) dia akan datang pada hari
Kiamat, sedangkan lambungnya miring"
Dengan demikian, seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembagian.
Jika dia bermalam pada satu isterinya semalam atau dua malam atau tiga malam,
maka dia juga bermalam pada isteri yang lain seukuran itu. Dia tidak boleh
melebihkan salah satu dari keduanya dalam pembagian. Namun, jika dia lebih
mencintai salah satunya, dan lebih banyak berjima' dengannya, maka tidak ada
dosa baginya, dan tentang inilah turun firman Allah:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam
perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian" (An-Nisaa`:129) - yaitu dalam hal kecintaan dan jima'.
Dalam Sunan Empat, dari 'Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam biasa membagi dan berbuat adil, lalu beliau berdoa:
"Wahai Allah, ini pembagianku dalam perkara yang aku mampu, maka
janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau mampu, sedangkan aku tidak
mampu". Abu Dawud mengatakan: "Yang beliau maksud adalah hati".
Adapun adil dalam hal
pemberian nafkah dan pakaian, maka yang demikian itu merupakan Sunnah (ajaran
Nabi), dan kita diharuskan meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian juga Rasulullah, beliau juga berlaku adil di antara isteri-isteri
beliau dalam hal nafkah, sebagaimana berlaku adil di dalam pembagiannya.
Syamsul Haq al 'Azhim rahimahullah berkata: "Hadits ini sebagai
dalil wajibnya suami untuk menyamakan pembagian di antara isteri-isterinya, dan
haram atasnya jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Ta'ala
berfirman:
"Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai)”.([An-Nisaa`:129), yang dimaksudkan adalah cenderung dalam pembagian
dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak
dikuasai oleh hamba".
Dalam terjemahan al Qur`an
yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan pada catatan
kaki sebagai berikut: [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh
para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja".
Adil dalam pembagian giliran
dan nafkah ini termasuk yang dimaksudkan oleh firman Allah:
"Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak"
(An-Nisaa`:19)
2.
Kemampuan Melakukan Poligami
Islam adalah agama yang mudah.
Dalam Islam, seseorang tidak diperbolehkan memberatkan dirinya sendiri.
Demikian pula dalam hal poligami. Sehingga, seorang laki-laki yang berpoligami,
disyaratkan harus memiliki kemampuan agar tidak menyusahkan orang lain.
Kemampuan yang dimaksudkan, meliputi pemberian nafkah dan menjaga kehormatan
isteri-isterinya.
a.
Kemampuan Memberi Nafkah.
Ketika seorang laki-laki
menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya. Di
antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang melakukan
poligami, maka kewajibannya tersebut bertambah dengan sebab bertambah
isterinya.
Secara bahasa, yang dimaksud
nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh
seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami
untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal,
perawatan, dan semacamnya.
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma'ruf." [Al Baqarah/2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan tentang ayat “dan kewajiban ayah (si anak) memberi nafkah (makan)
dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu sesuai dengan
kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu itu, dengan tanpa israf
(berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya, kaya,
sedang, dan miskin.
b.
Kemampuan Menjaga Kehormatan
Istri-istrinya.
Selain kebutuhan nafkah,
wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang laki-laki yang
berpoligami, ia harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis
isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan
Allah tidak menyukai kerusakan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai jama'ah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu
menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia
berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat" [HR Bukhari, no. 5065, Muslim,
no. 1400]
Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan
pembicaraan kepada para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka terdapat
kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda dengan orang tua, walaupun
maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang tua, maka
juga berlaku pada mereka"
Di kalangan para ulama, mereka
memiliki dua pendapat tentang makna al ba'ah (menikah). Pertama, jima. Kedua,
biaya nikah. Namun sesungguhnya kedua makna tersebut dapat digunakan pada
hadits ini.
c.
Syarat Poligami menurut
Undang-undang Perkawinan
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami,
yaitu:
·
adanya
persetujuan dari istri;
·
adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka (material);
·
adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
(immaterial).
Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya
ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk
menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau
tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.
F.
Dampak Poligami
Dampak positif berpoligami:
·
Terhindar
dari maksiat dan zina,
·
Meperbanyak
keturunan,
·
Melindungi
para janda, perawan tua dan kelebihan perempuan,
·
Kebutuhan
sex suami terselesaikan saat istrinya melahirkan, haid, sakit, uzur, dll,
·
Istri
terpacu untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena ada yang lain,
·
Melatih
kesabaran dan menekan egoisme,
·
Anak
yang dilahirkan menpunyai legal formal, dan
·
Status
yang jelas bagi perempuan.
Dampak negatif berpoligami:
·
Mendapat
tekanan social (masyarakat menganggap buruk pelakunya),
·
Mendapat
tekanan legal ( bagi peg, negeri: poligami dilarang),
·
Mendapat
tekanan ekonomis ( diperlukan biaya besar untuk memadu), dan
·
Kadang
bias mendapat tekanan politis.
Hal di atas menunjukkan beberapa dampak negatif dan
positif yang akan ditimbulkan dari poligami. Hal inilah yang dapat menjadi
pertimbangan untuk melakukan poligami. Sebaiknya sebelum melakukan poligami,
seharusnya memperhitungkan dan membandingkan antara dampak negatif dan dampak
positif yang mungkin terjadi.
1. Dampak negatif terhadap istri
Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek
poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif.
Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa
poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki
dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise
di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri
lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa
kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004)
adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi
masing-masing.
Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik
yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para
istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan
kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan
ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004)
menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok
bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan
nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri,
dan bahkan menjadi gila.
Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri
sebagai berikut :
a. Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena
merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya
memenuhi kebutuhan biologis suami.
b. Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada
beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam
prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang
tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga
pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah
menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu
pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
d. Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau
istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan
terjangkit virus HIV/AIDS.
e. Kekerasan terhadap perempuan,
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga
terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh
negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :
a. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para
istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri
dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan
tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan
kewajibannya.
b. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak
dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
c. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena
biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan
istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.
2. Dampak negatif yang akan timbul terhadap anak
Dampak negatif yang akan ditimbulkan poligami terhadap
anak yaitu :
a. Anak Merasa Kurang Disayang.
Salah
satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan
pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan
perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu
kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami,
sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa
kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Kurangnya
kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan
bathinnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan control
dari ayah kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang
dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemorosotan
moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang ter pengaruh kepada
hal-hal yang kurang wajar.
b. Tertanamnya Kebencian Pada Diri Anak.
Pada
dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua
terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak
merasa dirinya dan ibunya mulai kehilangan kecintaan kepada ayahnya yang berpoligami.
Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan dalam islam tapi
mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan hati dan
memberikan beban pada baatin si anak . Apalagi ditambah dengan orang tua yang
akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.
Kekecewaan seorang anak
karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah, akan
menyebabkan anak tidak simpati, dan tidak menghormati ayah kandungnya sehingga
harus diakui bahwa poligami mempunyai efek yang dapat merubah seseorang dari
sikap baik sampai kepada bersikap yang tidak baik.
c. Tumbuhnya Ketidakpercayaan Pada Diri anak.
Persoalan
yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis
kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut
dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada.sehingga ada rasa tidakpercaya
terhadap ayah maupun suami
d. Timbulnya Traumatik Bagi Anak. Dengan adanya tindakan
poligami seorang ayah maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan
membuat keluarga berantakan, walaupun tidak sampai cerai. Tapi kemudian akan
timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan
dengan pria.dan berfikiran serta merasa jika kelak nikah nanti akankah memiliki
suami atau istri yang tidak puas dengan satu pasangan dan ingin melakukan
praktik pernikahan poligami.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ismail, “Syarat dan Adab
Poligami”. http://almanhaj.or.id/content/2552/slash/0 (diakses pada 1 Mei 2012)
Abu Zahra, “Poligami Islam”. http://www.dunia-maharani.blogspot.com/2006/12/poligami-merupakan-salah-satu-isu-yang.html . (diakses pada 1 Mei 2012)
Ariyani, Mira. (2004). “Faktor yang
Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi
Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami”. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992).
Dedi Kusmayadi, “Memilih Poligami
Mempertimbangkan Anak, “ Fajar, 22 Maret 2002.
“Hukum Poligami”. http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/hukum-poligami.html (diakses pada 2 Mei 2012)
Jihad Annisa, “Poligami
Menurut Pandangan Islam”. http://blognyafitri.wordpress.com/2011/11/21/poligami-menurut-pandanghan-islam-oleh-jihad-annisa/ (diakses pada 1 Mei
2012)
No comments:
Post a Comment