Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris
yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu :
- Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.
- Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.
- Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masingmasing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari
pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam itu merupakan hukum
yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang
yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian
masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.
Dalam
hukum waris Islam, terdapat 3 unsur yaitu :
1. Pewaris
(Muwarit)
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal
dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih
hidup.
2. Ahli
Waris (Warits)
Ahli
Waris adalah orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan
dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya.
3. Warisan
(Mauruts)
Warisan
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa
benda bergerak maupun benda tak bergerak.
C. Syarat-syarat Hukum Waris Islam
1. Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud
dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa
seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya
sebagai orang yang telah meninggal.
Hal
ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang
masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya.
Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah
ia meninggal.
2. Adanya ahli waris yang masih hidup
Maksudnya,
pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak
untuk mewarisi.
Sebagai
contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat
saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini
oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam
suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti
Dalam
hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya
suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti
jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah
saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
(mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
D.
Hal-hal
yang Dapat Menggugurkan Warisan
Dalam
Hukum Islam, terdapat hal-hal yang dapat membuat seseorang tidak dapat atau
tidak boleh menerima warisan, yaitu :
1.
Budak
Seseorang
yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak
yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang
telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur
hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
2.
Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap
pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima warisan dari pewaris. Hal ini
sesuai dengan Hadist Rasulullah yakni hadits riwayat Ahmad yang artinya :
“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak
dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya
sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya
sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan
adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam
keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatan, untuk itu
pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
- Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori dalam hal ini; pembunuhan musuh dalam perang, pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati, dan pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.
- Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat, yang termasuk dalam kategori ini adalah; pembunuhan sengaja dan berencana, pembunuhan tersalah, pembunuhan seperti sengaja, dan pembunuhan seperti tersalah.
3.
Perbedaan
agama
Berbeda
agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling
mewaris, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Orang Islam tidak
dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi
harta orang Islam “.
E.
Asas-asas
Hukum Waris Islam
Asas-asas
Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas yaitu :
1. Asas
Ijbari
Asas
Ijbari adalah peralihan harta dari
orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari
dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya
pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya,
ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar
hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
2. Asas
Bilateral
Bahwa
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu
pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan
perempuan.
3. Asas
Individual
Bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti
setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan
terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam
nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja
harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang
bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak
mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
4. Asas
Keadilan Berimbang
Asas
ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa
faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya
laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan
sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
5. Asas
Kewarisan Semata Kematian
Bahwa
peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai
harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka
secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.
F.
Pembagian
Warisan Dalam Agama Islam
1. Penerima warisan
yang berhak mendapat setengah
Penerima
warisan yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada
lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima penerima
warisan tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
2. Penerima warisan
yang berhak mendapat seperempat
Adapun
kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya
hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
3. Penerima warisan
yang berhak mendapat seperdelapan
Dari
sederetan penerima warisan yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8)
yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan
dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak
tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
4. Penerima warisan
yang berhak mendapat bagian dua per tiga
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada
empat, dan semuanya terdiri dari wanita; dua anak perempuan (kandung) atau
lebih, dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih, dua orang
saudara kandung perempuan atau lebih, dan dua orang saudara perempuan seayah
atau lebih.
5. Penerima warisan
yang berhak mendapat bagian sepertiga
Adapun
penerima warisan yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua,
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6.
Penerima
warisan yang berhak mendapat bagian seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat
bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah ayah, kakek asli (bapak
dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan
seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan perempuan seibu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zahari, 2008, Hukum
Kewarisan Islam, FH Untan Press, Pontianak.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad.
“Pembagian Waris Menurut Islam”. http://media.isnet.org/islam/Waris/index.html (diakses tanggal 11 Maret 2012).
Amir Syarifuddin,
1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Gunung Agung, Jakarta.
H.R Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006, Hukum
Waris Islam, Refika
Aditama,
Bandung.
makasih informasi yang bermanfaatnya..
ReplyDeleteizin copy buat tugaz dan di share ?
Terimakasih penjelasan mengenai warisan ini :)
ReplyDeletesangat membantu
ReplyDeletethanks kunjungannya..
ReplyDeleteMakasih penjelasan nya
ReplyDeleteKunjungi juga situs wibe site kampus kami http://atmaluhur.ac.id