Monday, April 16, 2012

Hukum Islam - Waris Islam

A.   Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu :
  • Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.
  • Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.
  • Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masingmasing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam itu merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.
B.   Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Dalam hukum waris Islam, terdapat 3 unsur yaitu :
1.    Pewaris (Muwarit)
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
2.    Ahli Waris (Warits)
Ahli Waris adalah orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya.
3.    Warisan (Mauruts)
Warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.
C.   Syarat-syarat Hukum Waris Islam
1.    Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
2.    Adanya ahli waris yang masih hidup
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3.    Seluruh ahli waris diketahui secara pasti
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
D.   Hal-hal yang Dapat Menggugurkan Warisan
Dalam Hukum Islam, terdapat hal-hal yang dapat membuat seseorang tidak dapat atau tidak boleh menerima warisan, yaitu :

1.    Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2.    Pembunuhan

Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima warisan dari pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yakni hadits riwayat Ahmad yang artinya :
“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatan, untuk itu pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :


  • Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori dalam hal ini; pembunuhan musuh dalam perang, pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati, dan pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.
  • Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat, yang termasuk dalam kategori ini adalah; pembunuhan sengaja dan berencana, pembunuhan tersalah, pembunuhan seperti sengaja, dan pembunuhan seperti tersalah.

3.    Perbedaan agama

Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling mewaris, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam “.


E.   Asas-asas Hukum Waris Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas yaitu :
1.    Asas Ijbari
Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
2.    Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
3.    Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
4.    Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
5.    Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.
F.    Pembagian Warisan Dalam Agama Islam
1.    Penerima warisan yang berhak mendapat setengah
Penerima warisan yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima penerima warisan tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
2.    Penerima warisan yang berhak mendapat seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
3.    Penerima warisan yang berhak mendapat seperdelapan
Dari sederetan penerima warisan yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.

4.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian dua per tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita; dua anak perempuan (kandung) atau lebih, dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih, dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, dan dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian sepertiga
Adapun penerima warisan yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah ayah, kakek asli (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan perempuan seibu.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam, FH Untan Press, Pontianak.

Ali Ash-Shabuni, Muhammad. “Pembagian Waris Menurut Islam”. http://media.isnet.org/islam/Waris/index.html (diakses tanggal 11 Maret 2012).

Amir Syarifuddin, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta.


H.R Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006, Hukum Waris Islam, Refika
Aditama, Bandung.

5 comments:

  1. makasih informasi yang bermanfaatnya..
    izin copy buat tugaz dan di share ?

    ReplyDelete
  2. Terimakasih penjelasan mengenai warisan ini :)

    ReplyDelete
  3. Makasih penjelasan nya

    Kunjungi juga situs wibe site kampus kami http://atmaluhur.ac.id

    ReplyDelete

Review Undang Undang Cipta Kerja Omnibus Law #Hubungan Kerja

 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Sebelumnya kita sudah membahas terkait Undang-undang cipta kerja terkait tenaga kerja asing. Sa...