A. Latar Belakang
Sejak dulu, Indonesia terkenal akan hasil taninya
seperti rempah-rempah. Tidak hanya rempah-rempah, dulu Indonesia pernah menjadi
pengekspor beras terbesar di Asia Tenggara. Hal inilah yang menyebabkan Negara
Indonesia disebut sebagai negara agraris. Selain lautnya yang kaya akan hasil
alam, jumlah lahan pertanian di Indonesia begitu subur dan luas. Oleh karena itu, maka tidak jarang penduduk Indonesia bekerja sebagai petani.
alam, jumlah lahan pertanian di Indonesia begitu subur dan luas. Oleh karena itu, maka tidak jarang penduduk Indonesia bekerja sebagai petani.
Sekarang ini, persediaan lahan pertanian semakin
berkurang, hal ini diakibatkan karena meluasnya pembangunan kota yang berdampak
pada pengubahfungsian lahan pertanian menjadi lahan hunian. Tidak hanya
perluasan kota, beberapa industri juga dibangun di daerah persawahan.
Menyepitnya lahan pertanian menyebabkan beberapa
petani hanya memiliki lahan yang sempit. Bahkan ada petani yang tidak memiliki
lahanpertanian, yang hanya bekerja sebagai penggarap dengan bagi hasil.
Tentunya, hal tersebut akan berdampak pada perekonomian petani itu sendiri yang
hanya dapat mendapatkan hasil panen yang sedikit. Oleh karena itu, hal ini
dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan di
Indonesia.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam
menangani masalah ini. Upaya tersebut tertuangkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam
Pasal 7 UUPA yang menyatakan:
“Untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan.”
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa seseorang tidak diperbolehkan
memiliki dan menguasai tanah pertanian yang melampaui dari apa yang telah
ditetapkan. Penetapan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU Penetapan Luas Tanah
Pertanian).
Dalam Pasal 10 UUPA
juga berisikan tentang upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan
pertanian. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum
yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.”
Selain mengharuskan pemilik tanah untuk menggarap tanahnya secara
langsung, ketentuan ini juga melarang adanya sifat pemerasan dalam penggarapan
tanah pertanian. Cara-cara yang bersifat pemerasan yang dimaksud adalah hak-hak
yang terdapat dalam Pasal 53 UUPA, yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Karena bersifat pemerasan, maka dalam
pasal ini, hak-hak tersebut dikatakan bersifat sementara dan akan dihapuskan
dalam waktu yang singkat.
Saat ini kebanyakan petani hanya memiliki luas lahan dibawah satu hektar. Luas lahan yang demikian sudah jelas tidak dapat memberikan petani hidup yang layak. Bahkan sampai sekarang ini juga masih terdapat banyak petani yang tidak memiliki lahan. Cara-cara pemerasan yang terdiri dari hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masalah-masalah yang sulit diatasi dalam hal pengelolaan tanah pertanian. Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pelaksanaan reformasi agraria (landreform) dalam mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian di Indonesia.
Saat ini kebanyakan petani hanya memiliki luas lahan dibawah satu hektar. Luas lahan yang demikian sudah jelas tidak dapat memberikan petani hidup yang layak. Bahkan sampai sekarang ini juga masih terdapat banyak petani yang tidak memiliki lahan. Cara-cara pemerasan yang terdiri dari hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masalah-masalah yang sulit diatasi dalam hal pengelolaan tanah pertanian. Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pelaksanaan reformasi agraria (landreform) dalam mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian di Indonesia.
A. Reformasi Agraria
Reformasi Agraria atau landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia. Landreform
meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta
hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Landreform
bertujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat
Indonesia, terutama kaum tani.
Di Indonesia, landreform tidak dapat dipisahkan dari
Revolusi Negara Indonesia. Maka dari itu, tujuan landreform di Indonesia
terdiri dari:
1.
Untuk mengadakan pembagian yang adail atas sumber penghidupan rakyat
tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula,
dengan merombak stuktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna
merealisir keadaan sosial;
2.
Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi
tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan;
3.
Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap
warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik
sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun, tetapi
berfungsi sosial;
4.
Untuk mengakhiri sistem tuan-tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penuasaan secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan
batas maksimun dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat
seorang laki-laki maupun wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem
liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap
golongan yang ekonomis lemah;
5.
Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk
gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil,
dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.
Sesuai dengan tujuan landreform, maka dengan mengingat
situasi dan kondisi agrarian di Indonesia, maka program landreform meliputi:
1.
Pembatasan luas maksimun penguasaan tanah;
2.
Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
3.
Retribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimun, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah
negara;
4.
Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
5.
Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
6. Penetapan luas minimum pemilikan
tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian
yang terlampau kecil.
B. Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia
Program landreform dapat kita jumpai dalam UUPA.
Beberapa diantranya yaitu dalam Pasal 7 dan Pasal 10 UUPA. Dalam Pasal 7 UUPA
dinyatakan bahwa:
“Untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan.”
Dan dalam Pasal 10 khususnya pada ayat (1), dinyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum
yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.”
Ketentuan dalam melaksanakan program
landreform diatur oleh undang-undang ataupun peraturan lainnya yang mengatur khusus.
Adapun beberapa ketentuan dalam pelaksanaan landreform di Indonesia yaitu:
1. Penetapan Luas Maksimun Penguasaan Tanah
Ketentuan ini merupakan perwujudan dari Pasal 7 UUPA.
Dalam pasalnya penguasaan tanah yang melampaui batas dilarang. Maksud dari
melampaui batas adalah melebihi apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU Penetapan Luas Tanah Pertanian).
Sebagai undang-undang yang memuat ketentuan
landreform, maka UU Penetapan Luas Tanah Pertanian memuat tiga hal yang
diaturnya, yaitu:
a.
Penetapan luas maksimun pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
b.
Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan peecahan pemilikan tanah-tanah
itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; serta
c.
Soal pengembalian data penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Dengan demikian sungguh pun pasal 17 menunjuk pada semua macam tanah, UU
Penetapan Luas Tanah Pertanian tersebut baru mengatur soal tanah pertanian
saja. Maksimun luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya
akan diatur tersendiri dengan suatu peraturan pemerintah.
Pasal 1 ayat (1) UU Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan bahwa:
Seorang atau orang-orang yang
dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun
miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak
melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.
Dalam ayat (2) disebutkan penetapan luas tanah dan jumlah hak atas tanah
yang dapat diperoleh antara lain:
No.
|
Di daerah yang
|
Sawah (hektar)
|
Tanah Kering (Hektar)
|
1
|
Tidak padat
|
15
|
20
|
2
|
Kurang padat
|
20
|
12
|
3
|
Cukup padat
|
7,5
|
9
|
4
|
Sangat padat
|
5
|
6
|
2. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Pada intinya penggunaan tanah secara absentee
dilarang. Maksud dari larangan menguasai tanah secara absentee yaitu seseorang
tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah pertanian yang ada diluar kecamatan
tempat tinggalnya.
Penguasaan tanah secara absentee akan berdampak pada
pemanfaatan tanah yang kurang optimal. Dalam Pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum
yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.”
Maksud dari pasal tersebut bahwa pemilik hak atas tanah wajib untuk
mengerjakan tanahnya secara langsung. Jadi secara tidak langsung bahwa dalam
pasal ini, pemilikan tanah pertanian secara absentee dilarang, karena secara
logika, pemilik tanah tidak akan dapat mengusahakan tanahnya secara aktif.
3. Pengaturan
Pengembalian dan Penebusan Tanah Pertanian yang Digadaikan
Dalam
menghapuskan sifat-sifat pemerasan dalam gadai tanah, maka pemerintah membuat
ketentuan tentang cara penebusan uang gadai. Ketentuan tersebut terdapat dalam
Pasal 7 UU Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 UU, terdapat dua
ketentuan yang diatur yaitu pengembalian tanah gadai dan pembayaran uang gadai.
Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa:
Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan
hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung
selama 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu
sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran.
Menurut
ketentuan tersebut, jika hak gadai tanah yang sudah berlangsung tujuh tahun
atau lebih, maka tanah harus dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang
tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada dipanen. Hal ini
diasumsikan bahwa pemegang gadai yang menggarap tanah pertanian selama tujuh
tahun atau lebih, maka hasilnya akan melebihi uang gadai yang ia berikan kepada
pemilik tanah pertanian.
Untuk
tanah gadai yang akan ditebus sebelum tujuh tahun diatur dalam Pasal 7 Ayat (2)
UU Penetapan Luas
Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 Ayat
(2) dinyatakan bahwa:
Mengenai hak
gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung selama 7 tahun
maka pemilikan tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya
dihitung menurut rumus:
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak
gadai itu telah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
Pada awalnya gadai
atas tanah ini hanya diperuntukkan terhadap tanah pertanian, akan tetapi
diperjelas oleh dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Agraria No. SK
10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 Bagi
Gadai Tanaman Keras. Dalam diktumnya dikatakan bahwa gadai berlaku juga bagi
tanaman keras, misalnya kelapa.
4. Pengaturan
Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Mengingat
kelemahan Hak Usaha Bagi Hasil yang diatur dalam hukum adat, golongan penggarap
tanah yang biasanya berasal dari golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan,
dan untuk mengurangi sifat pemerasan, serta memberikan perlindungan hukum bagi
penggarap, maka dterbitkan Undang-undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil (UU Perj. Bagi Hasil). UU Perj. Bagi Hasil
mengharuskan bahwa perjanjian bagi hasil dilakukan
secara tertulis. Maksudnya adalah agar mudah diawasi dan diadakan
tindakan-tindakan terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil secara tertulis ini ternyata tidak terlaksana
dengan baik, karena para pihak lebih terbiasa mengadakan perjanjian bagi hasil
secara lisan, kekeluargaan, dan saling mempercayai.
Menurut
UU Perj. Bagi Hasil, perjanjian bagi hasil harus dibuat
secara tertulis di muka kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi,
dan disahkan oleh Camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk upaya preventif menghindarkan
perselisihan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dalam
penjelasan Umum UU Perj.
Bagi Hasil disebutkan bahwa tujuan mengatur
perjanjian bagi hasil tersebut, dengan maksud :
a.
Agar
pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang
adil;
b.
Dengan
menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar
terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya
dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu
karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang orang yang ingin
menjadi penggarapnya adalah sangat banyak;
c.
Dengan
terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b di atas, maka bertambahlah
kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik
pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju
dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.
PENUTUP
KESIMPULAN
Reformasi Agraria atau landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia. Program
landreform meliputi pembatasan luas maksimun penguasaan tanah, larangan
pemilikan tanah secara absentee atau guntai, retribusi tanah-tanah yang
selebihnya dari batas maksimun, tanah-tanah yang terkena larangan absentee,
tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara, pengaturan soal
pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan
kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan luas minimum
pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian
yang terlampau kecil.
Dalam
melaksanakan program tersebut, maka dibentuk peraturan yang khusus mengaturnya.
Beberapa dari aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil.
SUMBER:
BUKU
Aminuddin Salle dkk., Hukum Agraria,
ASPublishing, Makassar, 2011.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya Jilid
1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999.
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas
Tanah, Kencana, Jakarta, 2010.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
thanks kunjungannya, blognya (jokowarino.com) keren...
ReplyDelete