Tuesday, November 4, 2014

Pelaksanaan Landreform dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Tanah Pertanian di Indonesia

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sejak dulu, Indonesia terkenal akan hasil taninya seperti rempah-rempah. Tidak hanya rempah-rempah, dulu Indonesia pernah menjadi pengekspor beras terbesar di Asia Tenggara. Hal inilah yang menyebabkan Negara Indonesia disebut sebagai negara agraris. Selain lautnya yang kaya akan hasil
alam, jumlah lahan pertanian di Indonesia begitu subur dan luas. Oleh karena itu, maka tidak jarang penduduk Indonesia bekerja sebagai petani.
Sekarang ini, persediaan lahan pertanian semakin berkurang, hal ini diakibatkan karena meluasnya pembangunan kota yang berdampak pada pengubahfungsian lahan pertanian menjadi lahan hunian. Tidak hanya perluasan kota, beberapa industri juga dibangun di daerah persawahan.
Menyepitnya lahan pertanian menyebabkan beberapa petani hanya memiliki lahan yang sempit. Bahkan ada petani yang tidak memiliki lahanpertanian, yang hanya bekerja sebagai penggarap dengan bagi hasil. Tentunya, hal tersebut akan berdampak pada perekonomian petani itu sendiri yang hanya dapat mendapatkan hasil panen yang sedikit. Oleh karena itu, hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani masalah ini. Upaya tersebut tertuangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 7 UUPA yang menyatakan:
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa seseorang tidak diperbolehkan memiliki dan menguasai tanah pertanian yang melampaui dari apa yang telah ditetapkan. Penetapan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU Penetapan Luas Tanah Pertanian).
       Dalam Pasal 10 UUPA juga berisikan tentang upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Selain mengharuskan pemilik tanah untuk menggarap tanahnya secara langsung, ketentuan ini juga melarang adanya sifat pemerasan dalam penggarapan tanah pertanian. Cara-cara yang bersifat pemerasan yang dimaksud adalah hak-hak yang terdapat dalam Pasal 53 UUPA, yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Karena bersifat pemerasan, maka dalam pasal ini, hak-hak tersebut dikatakan bersifat sementara dan akan dihapuskan dalam waktu yang singkat.
        Saat ini kebanyakan petani hanya memiliki luas lahan dibawah satu hektar. Luas lahan yang demikian sudah jelas tidak dapat memberikan petani hidup yang layak. Bahkan sampai sekarang ini juga masih terdapat banyak petani yang tidak memiliki lahan. Cara-cara pemerasan yang terdiri dari hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masalah-masalah yang sulit diatasi dalam hal pengelolaan tanah pertanian. Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pelaksanaan reformasi agraria (landreform) dalam mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian di Indonesia.

PEMBAHASAN
A.   Reformasi Agraria
Reformasi Agraria atau landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani.
Di Indonesia, landreform tidak dapat dipisahkan dari Revolusi Negara Indonesia. Maka dari itu, tujuan landreform di Indonesia terdiri dari:
1.    Untuk mengadakan pembagian yang adail atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak stuktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadaan sosial;
2.    Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan;
3.    Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun, tetapi berfungsi sosial;
4.    Untuk mengakhiri sistem tuan-tanah dan menghapuskan pemilikan dan penuasaan secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimun dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki maupun wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah;
5.    Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.
Sesuai dengan tujuan landreform, maka dengan mengingat situasi dan kondisi agrarian di Indonesia, maka program landreform meliputi:
1.    Pembatasan luas maksimun penguasaan tanah;
2.    Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
3.    Retribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimun, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara;
4.    Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
5.    Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
6.    Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
B.   Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia
Program landreform dapat kita jumpai dalam UUPA. Beberapa diantranya yaitu dalam Pasal 7 dan Pasal 10 UUPA. Dalam Pasal 7 UUPA dinyatakan bahwa:
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Dan dalam Pasal 10 khususnya pada ayat (1), dinyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
            Ketentuan dalam melaksanakan program landreform diatur oleh undang-undang ataupun peraturan lainnya yang mengatur khusus. Adapun beberapa ketentuan dalam pelaksanaan landreform di Indonesia yaitu:
1.    Penetapan Luas Maksimun Penguasaan Tanah
Ketentuan ini merupakan perwujudan dari Pasal 7 UUPA. Dalam pasalnya penguasaan tanah yang melampaui batas dilarang. Maksud dari melampaui batas adalah melebihi apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU Penetapan Luas Tanah Pertanian).
Sebagai undang-undang yang memuat ketentuan landreform, maka UU Penetapan Luas Tanah Pertanian memuat tiga hal yang diaturnya, yaitu:
a.    Penetapan luas maksimun pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
b.    Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan peecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; serta
c.    Soal pengembalian data penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dengan demikian sungguh pun pasal 17 menunjuk pada semua macam tanah, UU Penetapan Luas Tanah Pertanian tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja. Maksimun luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur tersendiri dengan suatu peraturan pemerintah.
Pasal 1 ayat (1) UU Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan bahwa:
Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.
Dalam ayat (2) disebutkan penetapan luas tanah dan jumlah hak atas tanah yang dapat diperoleh antara lain:

No.
Di daerah yang
Sawah (hektar)
Tanah Kering (Hektar)
1
Tidak padat
15
20
2
Kurang padat
20
12
3
Cukup padat
7,5
9
4
Sangat padat
5
6

2.    Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Pada intinya penggunaan tanah secara absentee dilarang. Maksud dari larangan menguasai tanah secara absentee yaitu seseorang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah pertanian yang ada diluar kecamatan tempat tinggalnya.
Penguasaan tanah secara absentee akan berdampak pada pemanfaatan tanah yang kurang optimal. Dalam Pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Maksud dari pasal tersebut bahwa pemilik hak atas tanah wajib untuk mengerjakan tanahnya secara langsung. Jadi secara tidak langsung bahwa dalam pasal ini, pemilikan tanah pertanian secara absentee dilarang, karena secara logika, pemilik tanah tidak akan dapat mengusahakan tanahnya secara aktif.


3.    Pengaturan Pengembalian dan Penebusan Tanah Pertanian yang Digadaikan
Dalam menghapuskan sifat-sifat pemerasan dalam gadai tanah, maka pemerintah membuat ketentuan tentang cara penebusan uang gadai. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 7 UU Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 UU, terdapat dua ketentuan yang diatur yaitu pengembalian tanah gadai dan pembayaran uang gadai. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa:
Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung selama 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran.
Menurut ketentuan tersebut, jika hak gadai tanah yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, maka tanah harus dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada dipanen. Hal ini diasumsikan bahwa pemegang gadai yang menggarap tanah pertanian selama tujuh tahun atau lebih, maka hasilnya akan melebihi uang gadai yang ia berikan kepada pemilik tanah pertanian.
Untuk tanah gadai yang akan ditebus sebelum tujuh tahun diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 Ayat (2) dinyatakan bahwa:
Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung selama 7 tahun maka pemilikan tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
Pada awalnya gadai atas tanah ini hanya diperuntukkan terhadap tanah pertanian, akan tetapi diperjelas oleh dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Agraria No. SK 10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 Bagi Gadai Tanaman Keras. Dalam diktumnya dikatakan bahwa gadai berlaku juga bagi tanaman keras, misalnya kelapa.
4.    Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Mengingat kelemahan Hak Usaha Bagi Hasil yang diatur dalam hukum adat, golongan penggarap tanah yang biasanya berasal dari golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, dan untuk mengurangi sifat pemerasan, serta memberikan perlindungan hukum bagi penggarap, maka dterbitkan Undang-undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU Perj. Bagi Hasil). UU Perj. Bagi Hasil mengharuskan bahwa perjanjian bagi hasil dilakukan secara tertulis. Maksudnya adalah agar mudah diawasi dan diadakan tindakan-tindakan terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil secara tertulis ini ternyata tidak terlaksana dengan baik, karena para pihak lebih terbiasa mengadakan perjanjian bagi hasil secara lisan, kekeluargaan, dan saling mempercayai.
Menurut UU Perj. Bagi Hasil, perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan disahkan oleh Camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk upaya preventif menghindarkan perselisihan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dalam penjelasan Umum UU Perj. Bagi Hasil disebutkan bahwa tujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut, dengan maksud :
a.    Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil;
b.    Dengan menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat banyak;
c.    Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b di atas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.

 PENUTUP
KESIMPULAN
Reformasi Agraria atau landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia. Program landreform meliputi pembatasan luas maksimun penguasaan tanah, larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai, retribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimun, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara, pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Dalam melaksanakan program tersebut, maka dibentuk peraturan yang khusus mengaturnya. Beberapa dari aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. 
 


SUMBER:
BUKU
Aminuddin Salle dkk., Hukum Agraria, ASPublishing, Makassar, 2011.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999.
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.


1 comment:

Review Undang Undang Cipta Kerja Omnibus Law #Hubungan Kerja

 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Sebelumnya kita sudah membahas terkait Undang-undang cipta kerja terkait tenaga kerja asing. Sa...