Wednesday, November 26, 2014

Desentralisasi Kewenangan Pengaturan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam



A.    Desentralisasi Kewenangan Sumber Daya Alam
Konsep otonomi daerah yang terdapat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sebetulnya bukan desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan dengan desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU
Pemda desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 angka 7). Sedangkan dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa dari pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (pasal 1 angka 9). Daerah otonom menurut UU Pemda sudah berbeda dengan yang dimaksudkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang hanya menyebut kabupaten. Oleh UU Pemda, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten. Dengan begitu desentralisasi tidak hanya berada dalam ruang lingkup kabupaten tetapi juga provinsi.
Soal pembagian kewenangan pemerintahan, UU Pemda mengatur bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:
  • Politik luar negeri,
  • Pertahanan,
  • Keamanan,
  • Yustisi,
  • Moneter dan fiskal nasional,
  • Agama.
Secara implisit, Undang-Undang ini menyerahkan kewenangan urusan Sumber Daya Alam (SDA) kepada daerah sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan SDA antara pusat-daerah. Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi relasi pusat-daerah tersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. UU ini juga mengatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
Pembagian urusan pemerintahan harus memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini tidak begitu jelas, seperti apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif maka otonomi seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusat-daerah, provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa. Dengan melihat bingkai pembagian penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU ini potensial mengembalikan bandul kewenangan SDA ke pusat (resentralisasi). Pengaturan SDA yang berkaitan dengan daerah lain dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:
  • Pelaksanaan pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
  • Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
  • Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya.
Selain dalam UU Pemda, pengaturan desentralisasi juga terdapat dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan SDA maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan seringkali dipakai untuk mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin peruntukan sumber daya alam, maupun kewenangan mengurus dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sejak berlakunya Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 hingga direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah. Beberapa diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan, dan UU Perikanan. Pada keempat UU ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni:
  • Kewenangan teknis pengelolaan SDA. Kewenangan ini erat kaitannya dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan SDA di daerah dan kemudian; dan
  • Kewenangan mengatur dan mengurus SDA yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum.
Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail (pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni:
  • Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air,
  • Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air,
  • Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air,
  • Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air,
  • Melaksanakan pengelolaan sumber daya air,
  • Mengatur, menetapkan dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air,
  • Membentuk dewan sumber daya air,
  • Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air, dan
  • Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Dengan cara seperti itu, UU Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya substantive maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan, penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan otonomi pengelolaan SDA.
Berbeda dengan UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan soal penyerahan kewenangan kepada daerah kepada Peraturan Pemerintah (pasal 66). Adalah PP No 32 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh dan detail soal penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut berlaku pada kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan (pasal 37), pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (pasal 38), dan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurus dan mengatur hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya merupakan kewenangan perijinan.
Dalam bidang pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini mengatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud meliputi:
  • Pemberian ijin lokasi;
  • Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
  • Penyelesaian sengketa tanah garapan;
  • Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
  • Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
  • Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
  • Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
  • Pemberian ijin membuka tanah;
  • Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Dari kewenangan-kewenangan yang didesentralisasikan ini beberapa diantaranya adalah kewenangan yang sifatnya teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan kebijakan-kebijakan administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administratif langkah maju dalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan mengurus yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan kewenangan landreform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang desentralisasi pengelolaan Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenangan untuk menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya.
Pengelolaan minyak dan gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah satu alasan karena kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenangan BUMN Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan, air dan tanah, pengaturan SDA yang tidak dapat diperbaharui, yang secara eksplisit mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas Bumi. Pengaturan mengenai Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. UU ini menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi:
  • Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
  • Pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
  • Pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
  • Pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota;
  • Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
  • Pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota.
Dalam ketentuan ini secara eksplisit ditegaskan bahwa daerah mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan panas bumi sendiri. Perkembangan ini merupakan langkah maju karena dalam beberapa Undang-Undang lainnya kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan secara eksplisit.
Dalam UU Perkebunan, desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya menyangkut perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional, provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Agak menarik, ketika UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur administrasi pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat diharapkan mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh beberapa patokan semisal kepentingan pasar.
UU Perikanan baru yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal desentralisasi tetapi dengan sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan perikanan maupun penarikan kembali kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP (pasal 65 ayat 1). Selanjutnya dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu bertentangan dengan UU Pemda yang secara tegas mengatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (pasal 18). Pembagian kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat jelas. Kewenangan daerah meliputi:
  • Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
  • Pengaturan administratif;
  • Pengaturan tata ruang;
  • Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
  • Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
  • Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Dengan demikian dalam desentralisasi pengelolaan SDA ada berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah dijabarkan. Masing-masing SDA diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang sekaligus menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam UU Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu sektor dengan sektor lainnya.


                                          DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan             

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Internet                                                                                                    

Bernadinus Steni, “Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah,” http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Desentralisasi-koordinasi-dan-partisipasi-Masyarakat_Steny.pdf diakses pada 30 Maret 2013.

Senator Indonesia, “Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” http://senatorindonesia.org/senator/node/56 diakses pada 30 Maret 2013.

No comments:

Post a Comment

Review Undang Undang Cipta Kerja Omnibus Law #Hubungan Kerja

 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Sebelumnya kita sudah membahas terkait Undang-undang cipta kerja terkait tenaga kerja asing. Sa...