A.
Desentralisasi
Kewenangan Sumber Daya Alam
Konsep otonomi daerah
yang terdapat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sebetulnya bukan
desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan dengan
desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU
Pemda
desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 angka 7). Sedangkan
dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
(pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari
Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa dari pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu (pasal 1 angka 9). Daerah otonom menurut UU Pemda sudah berbeda dengan
yang dimaksudkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang hanya menyebut kabupaten. Oleh
UU Pemda, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah provinsi
dan pemerintahan daerah kabupaten. Dengan begitu desentralisasi tidak hanya berada
dalam ruang lingkup kabupaten tetapi juga provinsi.
Soal pembagian
kewenangan pemerintahan, UU Pemda mengatur bahwa pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:
- Politik luar negeri,
- Pertahanan,
- Keamanan,
- Yustisi,
- Moneter dan fiskal nasional,
- Agama.
Secara implisit, Undang-Undang ini
menyerahkan kewenangan urusan Sumber Daya Alam (SDA) kepada daerah sebagaimana
dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan SDA
antara pusat-daerah. Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat
menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi
relasi pusat-daerah tersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
UU ini juga mengatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling
terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
Pembagian urusan
pemerintahan harus memperhatikan keserasian hubungan antara susunan
pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini tidak begitu jelas, seperti
apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif maka otonomi
seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusat-daerah,
provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa. Dengan melihat bingkai pembagian
penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU ini potensial mengembalikan bandul
kewenangan SDA ke pusat (resentralisasi). Pengaturan SDA yang berkaitan dengan
daerah lain dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan
SDA dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:
- Pelaksanaan pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
- Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
- Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya.
Selain dalam UU Pemda, pengaturan
desentralisasi juga terdapat dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur
mengenai pengelolaan SDA maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan
seringkali dipakai untuk mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin
peruntukan sumber daya alam, maupun kewenangan mengurus dan mengatur
pengelolaan sumberdaya alam.
B. Kewenangan
Pemerintah Daerah dalam Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sejak berlakunya Otonomi
Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 hingga direvisi menjadi UU No 32 Tahun
2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya
alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah. Beberapa diantaranya adalah UU
Kehutanan, UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan, dan UU Perikanan. Pada keempat UU
ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang diserahkan
kepada pemerintah daerah, yakni:
- Kewenangan teknis pengelolaan SDA. Kewenangan ini erat kaitannya dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan SDA di daerah dan kemudian; dan
- Kewenangan mengatur dan mengurus SDA yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum.
Dalam UU Sumber Daya
Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail (pasal 16 sampai 18). UU
Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab daerah atas pengelolaan
sumberdaya air yakni:
- Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air,
- Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air,
- Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air,
- Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air,
- Melaksanakan pengelolaan sumber daya air,
- Mengatur, menetapkan dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air,
- Membentuk dewan sumber daya air,
- Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air, dan
- Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Dengan cara seperti itu, UU Sumber Daya
Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya
substantive maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan,
penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan
air serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif
adalah delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai
kewenangan otonomi pengelolaan SDA.
Berbeda dengan UU
Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan soal penyerahan kewenangan
kepada daerah kepada Peraturan Pemerintah (pasal 66). Adalah PP No 32 Tahun
2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh dan detail soal
penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut berlaku pada
kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan (pasal 37), pemungutan
hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (pasal 38), dan usaha pemanfaatan jasa
lingkungan (pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur, Bupati
dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurus dan mengatur
hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya merupakan
kewenangan perijinan.
Dalam bidang
pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada Keppres No.
34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini mengatakan
bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota (pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud meliputi:
- Pemberian ijin lokasi;
- Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
- Penyelesaian sengketa tanah garapan;
- Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
- Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
- Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
- Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
- Pemberian ijin membuka tanah;
- Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Dari kewenangan-kewenangan yang
didesentralisasikan ini beberapa diantaranya adalah kewenangan yang sifatnya
teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan kebijakan-kebijakan
administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administratif langkah
maju dalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan mengurus
yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan kewenangan
landreform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan penyelesaian
tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
UU No. 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang desentralisasi pengelolaan
Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan bahwa Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu wajib membayar
penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; pajak
daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenangan untuk
menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya.
Pengelolaan minyak dan
gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah satu alasan karena
kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenangan BUMN
Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan, air
dan tanah, pengaturan SDA yang tidak dapat diperbaharui, yang secara eksplisit mengatur
soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas Bumi. Pengaturan mengenai
Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. UU ini
menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas
Bumi meliputi:
- Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
- Pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
- Pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
- Pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota;
- Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
- Pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota.
Dalam ketentuan ini secara eksplisit
ditegaskan bahwa daerah mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan
panas bumi sendiri. Perkembangan ini merupakan langkah maju karena dalam
beberapa Undang-Undang lainnya kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan
secara eksplisit.
Dalam UU Perkebunan,
desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya menyangkut
perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional,
provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh pemerintah,
provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Agak
menarik, ketika UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur
administrasi pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat
diharapkan mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan
pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh
beberapa patokan semisal kepentingan pasar.
UU Perikanan baru yang
merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal desentralisasi tetapi dengan
sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah. UU ini
menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan perikanan maupun penarikan kembali
kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP (pasal 65 ayat 1). Selanjutnya
dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas pembantuan di bidang perikanan
kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu bertentangan dengan UU Pemda yang
secara tegas mengatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (pasal 18). Pembagian
kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat jelas. Kewenangan daerah
meliputi:
- Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
- Pengaturan administratif;
- Pengaturan tata ruang;
- Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
- Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
- Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Dengan demikian dalam desentralisasi
pengelolaan SDA ada berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah
dijabarkan. Masing-masing SDA diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang
sekaligus menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam
UU Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri
itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu sektor
dengan sektor lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan
Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Internet
Bernadinus Steni, “Desentralisasi, Koordinasi Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah,”
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Desentralisasi-koordinasi-dan-partisipasi-Masyarakat_Steny.pdf diakses pada 30 Maret
2013.
Senator Indonesia, “Otonomi Daerah dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam,” http://senatorindonesia.org/senator/node/56 diakses pada 30 Maret
2013.
No comments:
Post a Comment