A. Wakil
Negara Dalam Perjanjian Internasional
Dalam
pembuatan perjanjian internasional, yang melakukan perundingan dalam perjanian
tersebut adalah para wakil-wakil yang ditunjuk oleh negara sebagai delegasi
dari negara tersebut. Sehingga penunjukan wakil-wakil negara untuk turut serta
dalam perjanjian internasional sebagai pihak
delegasi merupakan hal yang harus dilakukan setiap negara. Para wakil yang ditunjuk tentunya akan melakukan perundingan terhadap isi perjanjian dengan wakil-wakil negara lain. Perundingan tersebut tentunya bertujuan untuk menghasilkan mufakat dari para pihak.
delegasi merupakan hal yang harus dilakukan setiap negara. Para wakil yang ditunjuk tentunya akan melakukan perundingan terhadap isi perjanjian dengan wakil-wakil negara lain. Perundingan tersebut tentunya bertujuan untuk menghasilkan mufakat dari para pihak.
Kemufakatan
dalam suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian antar negara tidak mudah
untuk diwujudkan. Kepentingan-kepentingan yang terdapat dari suatu negara bisa
saja terjadi pertentangan dengan kepentingan negara lainnya. Tidak hanya
kepentingan dari setiap negara, tetapi perbedaan ideologi dan hukum positif
dari setiap negara juga bisa menimbulkan perdebatan. Oleh karena itu, dibutuhkan
peranan para wakil negara dalam melakukan perundingan untuk menyampaian
kepentingan dan penyesuaian isi perjanjian dengan hukum positif negaranya.
Pada
umumnya, orang yang ditunjuk sebagai wakil negara dalam perjanjian
internasional yaitu warga negaranya sendiri, seperti pejabat-pejabat negaranya,
orang-orang yang menjadi warga negaranya yang bukan pejabat negara tetapi memiliki
keahlian dalam bidang yang akan diatur di dalam perjanjian tersebut.
Tentunya, penunjukan wakil-wakil negara merupakan keputusan dari pemerintahan
negara itu sendiri. Biasanya, wakil negara terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris,
dan yang lainnya sebagai anggota.
Namun juga, terkadang dari susuanan tersebut salah-satunya tidak ada dan bahkan
lebih, tergantung pada kebutuhan.
Tidak
selamanya bahwa dalam susunan delegasi untuk mewakili negara dalam perjanjian
adalah keseluruhannya warga negara dari negara tersebut. Tidak dapat dipungkiri
bahwa masih ada beberapa negara yang kurang dalam sumber daya manusianya.
Karena kurangnya sumber daya manusia dalam suatu negara, bisa saja dalam negara
tersebut tidak memiliki seorang ahli dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, posisi
sebagai konsultasi ahli dapat diisi dari orang asing. Tentunya penunjukan orang
asing tersebut hanya sebatas sebagai penasehat delegasi atau konsultasi ahli.
Terdapat beberapa
pedoman dalam melakukan delegasi dalam negara Republik Indonesia, yaitu :
- Latar belakang permasalahan;
- Analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
- Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
Pedoman diatas perlu untuk disetujui
oleh menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
Dalam
melaksanakan tugas sebagai wakil negara, tentunya juga membutuhkan kuasa penuh
(full power). Full power telah menjadi syarat bagi wakil negara sebagai delegasi
yang sah. Hal ini telah diatur dalam konvensi Article 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969 yang berbunyi :
“A person is considered as representing a State for the
purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose
of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if :
a)
he produces appropriate full powers; or
b)
it appears from the practice of the States concerned or
from other circumstances that their intention was to consider that person as
representing the State for such purposes and to dispense with full powers.”
Kuasa penuh
biasanya ditunjukkan dalam perjanjian internasional untuk menunjukkan bahwa
orang tersebut merupakan perwakilan yang sah dari suatu negara dalam melakukan
perundingan. Selain itu, kuasa penuh juga berfungsi untuk menunjukkan ruang
lingkup tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah
negarahnya sendiri. Sehingga
dapat dikatakan bahwa wakil-wakil negara harus mempunyai full power dalam menjalankan tugasnya sebagai delegasi negara.
Di
Indonesia, pengertian kuasa penuh (full
power) diatur dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional yang berbunyi :
“Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau
Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah
perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada
perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional.”
Pengertian
ini, menjelaskan bahwa full power diterima dari Presiden atau Menteri. Hal ini
disebabkan karena wakil yang ditunjuk sebagai delegasi harus merupakan wakil
yang sah sehingga diperlukan persetujuan dari Presiden atau Menteri.
Dibandingkan dengan Konvensi Wina 1969,
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional secara sengaja
membuat beberapa perbedaan perihal instrument Surat Kuasa, yaitu :
- Konvensi Wina 1969 mengartikan surat kuasa sebagai mencakup perbuatan untuk berunding dan otentifikasi naskah yang dalam hal ini tidak dickup dalam undang-undang. Hal ini disebabkan karena undang-undang memberikan surat kuasa dengan Credentials yang diartikan sebagai untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. Konvensi Wina 1969 sendiri tidak mengenal instrumen Credentials karena pengertian ini sudah dicakup dalam definisi surat kuasa. Jadi pembedaan yang dilakukan oleh undang-undang ini adalah semata-mata untuk mengakomodasi praktik Indonesia yang sudah baku tentang penggunaan surat kuasa dan Credentials yang dibuat secara terpisah dan kadangkala, dan sangat jarang, disatukan, khususnya dalam perundingan multilateral.
- Berbeda dengan Konvensi Wina 1969, undang-undang ini tidak menempatkan Kepala Perwakilan (Duta Besar RI) di negara/organisasi internasional akreditasinya sebagai pejabat yang tidak membutuhkan surat kuasa dalam hal menerima naskah perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan negara/organisasi internasional akreditasinya. Asumsi dasar sehingga Konvensi Wina tidak mensyaratkan Kepala Perwakilan (Duta Besar) tersebut untuk mendapatkan surat kuasa adalah karena Duta Besar tersebut pada hakikatnya sudah memiliki surat kuasa yang bersumber dari Credentials yang diserahkan kepada Kepala Negara akreditasinya, sehingga sesuai dengan fungsinya maka Duta Besar tersebut secara sah sudah dianggap sebagai mewakili negaranya seperti yang diakui oleh Konvensi Wina 1961 tantang Hubungan Diplomatik.
- Bedanya dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dengan Konvensi Wina perihal ini akan berpotensi untuk menciptakan konflik jika pada suatu waktu seorang Duta Besar melakukan penerimaan naskah tanpa memiliki surat kuasa dengan alasan tidak diperlukan berdasarkan Konvensi Wina 1969 yang juga disetujui oleh negara akreditasinya. Undang-undang ini tampaknya hanya mengkristalisasikan praktik yang sudah berlaku dan tidak terdapat alasan lain yang yuridis, sehingga Duta Besar tetap diharuskan untuk memiliki surat kuasa.
- Berbeda dengan Konvensi Wina 1969, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak mensyaratkan adanya surat kuasa jika perjanjian internasional tersebut menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan, baik departemen meupun non-departemen. Mengingat aturan ini tidak diatur oleh Konvensi Wina 1969, maka perbedaan ini juga berpeluang untuk menimbulkan konflik dengan mitra perjanjian jika ternyata perjanjian tersebut oleh mitra dimaksud tetap membutuhkan Surat Kuasa. Aturan ini juga tampaknya juga merupakan kristalisasi dari praktik yang sudah dilakukan oleh Indonesia dan tidak ditemukan alasan yuridis sehingga diperlukan norma unilateral semacam ini.
Praktik Indonesia dalam mengakplikasikan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada akhirnya
telah megartikan surat kuasa (full powers)
untuk tiga maksud, yaitu :
- Surat Kuasa yang disyaratkan oleh perjanjian itu (Full Powers for the Purpose of Vienna Convention on the Law of Treaties) yang akan dipertukarkan pada saat penandatanganan. Surat Kuasa dalam pengertian hukum perjanjian internasional adalah terhadap perjanjian yang mensyaratkan adanya full powers yang ditandai dengan kalimat “duly authorized” pada klausul perjanjian itu. Konsekuensi dari klausul ini adalah bahwa pada saat penandatanganan, instrument full powers ini secara resmi harus dipertukarkan oleh masing-masing pihak.
- Perjanjian yang tidak mensyaratkan full powers tetapi oleh Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional mensyaratkan adanya full powers (full powers untuk maksud Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional). Dalam situasi tertentu, terdapat kemungkinan bahwa mitra asing tidak menyepakati adanya klausul full powers dalam perjanjian seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, dengan pertimbangan bahwa perundang-undangan negara tersebut tidak mensyaratkan hal ini. Sekalipun tidak terdapat klausul full powers, jika Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional mensyaratkan untuk itu, maka Menlu tetap mengeluarkan full powers dalam rangka kebutuhan mekanisme internal (bukan karena disyaratkan oleh perjanjian itu).
- Perjanjian lain yang oleh Menteri Luar Negeri dipandang perlu adanya full powers (full powers untuk kebutuhan internal). Menteri Luar Negeri dipandang perlu adanya full powers (full powers untuk kebutuhan internal). Menteri Luar Negeri jika dipandang perlu dalam rangka fungsi monitoring dan pengawasan dapat mensyaratkan full powers terhadap perjanjian, baik oleh perjanjian itu maupun oleh Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional yang mensyaratkan full powers seperti pada perjanjian dengan LSM internasional. Perlunya full powers semacam ini diserahkan pada kebijakan Menteri Luar Negeri c.q. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional.
B. Kedudukan
Wakil Negara Tanpa Full Power
Secara
umum, untuk menentukan kedudukan sah tidaknya seorang wakil negara sebagai
delegasi dalam perjanjian internasional, tentunya diperlukan full power. Namun, terdapat beberapa
pihak yang tidak memerlukan full power dalam
mewakili negara dalam perjanjian internasional yaitu:
- Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Menteri Luar Negeri;
- Kepala Misi Diplomatik (terbatas hanya penerimaan atau pengadopsian perjanjian saja);
- Kepala Perwakilan yang Diakreditasi.
Hal ini diatur
dalam Article 7 ayat (2) Konvensi
Wina 1969 yang berbunyi :
“In virtue of their functions and without having to
produce full powers, the following are considered as representing their State :
a)
Heads of State, Heads of Government and Ministers for
Foreign Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the conclusion
of a treaty;
b)
Heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting
the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they
are accredited;
c)
Representatives accredited by States to an international
conference or to an international organization or one of its organs, for the
purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization of
organ.”
Pihak-pihak yang
tidak memerlukan full power dalam
mewakili negara dalam perjanjian internasional merupakan pihak-pihak yang
bekerja karena jabatan yang didudukinya. Tugas dan fungsinya dipandang sebagai
perwakilan negaranya sehingga tidak membutuhkan full power.
Sedangkan dalam Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang tidak memerlukan surat
kuasa yaitu :
- Presiden, dan
- Menteri.
Peranan Presiden dan Menteri sebagai
wakil negara dalam perjanjian internasional adalah tugas dan fungsi jabatannya.
Sehingga Presiden dan Menteri tidak perlu lagi diberikan surat kuasa.
C. Tugas
Wakil Negara
Kesesuaian
hukum internasional dengan kebiasaan masyarakat dalam suatu negara tentunya
merupakan tugas pemerintahan dalam melakukan penyaringan-penyaringan hukum
internasional yang ada. Oleh karena itu, dalam perjanjian internasional,
wakil-wakil negara mewakili pemerintahan dalam melaksanakan tugas tersebut.
Wakil
negara dalam perjanjian internasional bertindak sesuai dengan full power yang diberikan oleh negara
yang diwakilkannya. Pengertian full power
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
menyebutkan tugas wakil negara yaitu untuk menandatangani atau menerima naskah
perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada
perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional.
Pada
umumnya, wakil negara melaksakan keseluruhan proses perjanjian internasional.
Hal ini tentunya tergantung pada surat kuasa yang diberikan. Adapun proses
perjanjian sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional yaitu penjajagan, perundingan, perumusan naskah
perjanjian, penerimaan, dan penandatanganan.
Dari beberapa proses perjanjian internasional, yang pada umumnya menjadi tugas
wakil negara adalah perumusan, perundingan, perumusan naskah perjanjian, penerimaan,
dan penandatanganan.
1. Perundingan
Tugas wakil negara
untuk melakukan perundingan telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang berbunyi :
“Perundingan
rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik
Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi
perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.”
2. Perumusan
Naskah Perjanjian
Dalam penjelasan pasal
6 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
mengartikan perumusan naskah perjanjian sebagai tahap merumuskan rancangan
suatu perjanjian internasional.
Proses
ini merupakan proses yang sangat penting. Dalam proses ini, wakil negara betul
bekerja keras karena akan menyangkup mengenai isi perjanjian. Wakil negara
perlu mengajukan ide-ide yang merupakan kepentingan dari negara yang diwakilinya.
Selain itu, wakil negara juga perlu menyaring dan menolak isi atau ide-ide dari
perwakilan negara lain yang tidak sesuai dengan hukum positifnya atau hukum
nasionalnya.
3. Penerimaan
Naskah Perjanjian
Dalam penjelasan Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
dijelaskan bahwa :
“Penerimaan:
merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati
oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal
hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan
dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh
ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan
(acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak
atas perubahan perjanjian internasional.”
Hal
ini merupakan tindak lanjut dari proses perumusan naskah perjanjian. Dalam
tugasnya, wakil negara bertindak menerima naskah tersebut untuk mengesahkan
atau menyetujui isi-isi perjanjian yang telah dirumuskan oleh para delegasi
masing-masing negara.
4. Penandatanganan
Dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan
bahwa :
“Penandatanganan
suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian
internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan
untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak.”
Tugas Wakil Negara dalam menandatangani
perjanjian merupakan bentuk persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri
secara definitif dalam peranjian tersebut. Hal ini bukan berarti megikatkan
diri sepenuhnya, namun Cuma bentuk dari persetujuan akan isi perjanjian yang
telah dibentuk sebelumnya. Seperti dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) yaitu :
“Penandatanganan
suatu perjanjian internasional tidak sekaligus dapat diartikan sebagai pengikatan
diri pada perjanjian tersebut Penandatanganan suatu perjanjian internasional
yang memerlukan pengesahan, tidak mengikat para pihak sebelum perjanjian
tersebut disahkan.”
DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG
:
Vienna Convention on the Law of Treaties
1969.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
BUKU
:
Dumoli Agusman Damos, “Hukum Perjanjian
Internasional”, PT Refika Aditama, Bandung, 2010.
Parthiana I Wayan, “Hukum Perjanjian Internasional
Bagian 1”, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Starke
J.G., “Pengantar Hukum Internasional”, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
No comments:
Post a Comment